Keheningan ibadat Minggu jemaat
GBIS 25 september lalu terkoyak oleh sebuah aksi bom bunuh diri yang
sontak ikut menghentak warga solo dan perhatian masyarakat Indonesia. Bagaimana
tidak aksi bom bunuh diri itu terjadi bahkan dalam rentang waktu kurang dari
sebulan pasca Hari Raya Idul Fitri, dimana belum sepenuhnya hilang dari ingatan
indahnya suasana di Hari Kemenangan umat muslim itu. Pelaku bom bunuh diri yang
dicurigai merupakan bagian skenario jaringan teroris ekstrimis muslim itu
sungguh telah mencederai nama agama dan kerukunan antar umat beragama. Padahal
sejatinya agama bukan untuk dijadikan tameng pembenaran atas tindakan yang sama
sekali tidak berkeperimanusiaan seperti halnya aksi bom bunuh diri di solo.
Beberapa waktu yang lalu diberitakan terjadi pergejolakan di Ambon karena
menyusul merebaknya isu SARA yang sangat sensitif bagi masyarakat di Ambon
mengingat pecahnya konflik SARA beberapa tahun silam. Lagi – lagi isu SARA yang
diangkat ke permukaan untuk mengobarkan konflik, sepertinya isu SARA menjadi
senjata ampuh untuk mencerai beraikan bangsa Indonesia.
Kembali ke kasus bom solo yang mengangkat isu terorisme, nalar saya
sedikit tergelitik oleh sebuah statement seorang teman di sebuah jejaring
sosial yang menganalogikan rangkaian kasus terorisme dan kaitannya dengan kasus
yag sedang panas di kalangan elite politik. Dalam statementnya itu disebutkan urutan kasus
terorisme mulai dari meledaknya kejadian bom bali saat bergulir panasnya bola
api kasus BLBI di tahun 2001, terkuaknya skandal korupsi deputi gubernur BI
disusul meledaknya bom di kuningan, skandal Bailout Bank Century disusul dengan pengungkapan jaringan
terorisme di Aceh, Temanggung dan Pamulang. Di tahun 2011 ini pun ada beberapa
kejadian yang dikaitkan dengan terorisme diantaranya merebaknya kasus bom buku
beruntun yang diawali oleh Bom Utan Kayu tak lama setelah munculnya skandal
kawat diplomat yang dibocorkan wikileaks, tak berhenti sampai di situ Kota
Cirebon pun belum lama ini ikut digegerkan oleh aksi bom bunuh diri di sebuah
mesjid saat berlangsungnya ibadah shalat jum’at dan yang tengah hangat saat itu
terjadi adalah kasus mafia pajak Gayus Halomon Tambunan. Dan yang terakhir
tentunya adalah kasus bom bunuh diri yang baru-baru ini terjadi di Solo yang
mengalihkan perhatian publik dari merdunya kicauan M. Nazaruddin dengan korupsi
wisma atletnya yang juga mulai ikut membuka tabir korupsi beberapa kader dari
partai penguasa dan korupsi di beberapa departemen kementerian lainnya.
Adakah kesamaan antara isu SARA yang mengobarkan konflik di Poso beberapa
tahun lalu dengan isu terorisme yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini ?
Secara kasat mata dapat dikatakan ada kesamaan diantara dua kasus tersebut
yaitu agama, padahal dalam ajaran agama apapun toleransi adalah hal yang utama
diajarkan dalam hubungan sesama manusia. Dengan kata lain dapat dikatakan bukan
agama lah sesungguhnya yang menjadi pemicunya, lantas apa? mungkinkah ada
aktor intelektual yang mendalangi cheos yang selama ini terjadi di negeri ini?
Statement teman saya dalam sebuah jejaring sosial setidaknya membuka mata
kita akan adanya beberapa data yang saling terkait satu sama lain membentuk
fakta yang dapat ditarik benang merahnya
sebagai sebuah trik pengalihan isu yang memanipulasi emosi bangsa Indonesia. Fakta
terbaru mengenai konflik poso dalam sebuah kajian yang ditulis oleh Hasrullah
menyebutkan bahwa konflik poso dilatarbelakangi kepentingan elite politik,
bukan agama semakin mempekuat adanya dugaan trik pengalihan isu yang didalangi
oleh elite politik negeri ini. Dan yang lebih gawat lagi, elite politik melibatkan
elite agama dalam konflik, bahkan melakukan pencitraan terhadap institusi
keagamaan. Jadilah kesan konflik ini berlatarbelakang agama pun meluas di benak
masyarakat. Para dalang politik itu menciptakan situasi dimana masyarakat
saling mencurigai satu sama lain, menimbulkan permusuhan yang pada akhirnya
memecah belah masyarakat. Setelah menciptakan situasi cheos di masyarakat para
elite politik itu menggunakan kesempatan untuk menggerogoti kekayaan negeri ini
untuk kepentingan pribadi.
Apa alasan dibalik provokasi kepentingan para elite politik untuk memecah
belah bangsa indonesia ? Alasannya tak lain adalah besarnya kekuatan dari
persatuan, ingatkah salah satu pasal dalam undang-undang dasar negara ini yang
menyebutkan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Saat rakyat
bersatu mengesampingkan perbedaan yang menjadi penghalang mewujudkan panji dari
sebuah ungkapan ‘Bhineka Tunggal Ika’ maka
bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah revolusi perubahan tatanan negeri ini
kearah yang lebih baik sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Mana sosok
mahasiswa yang satu dekade kebelakang
memegang peranan sentral penggerak reformasi
1998 ? Sulit ditemui pada sosok pemuda intelek bertitel mahasiswa di jaman
pengalihan isu seperti saat ini karena sikap kritis mahasiswa teralihkan pada
rumitnya sistem pendidikan saat ini yang cukup menguras tenaga dan pikiran
mahasiswa sehingga tidak tersisa ruang untuk mengkritisi keadaan negeri ini,
lantas mana pemuda-pemuda lainnya yang tidak terbelit rumitnya sistem
pendidikan negeri ini? Mirisnya karena
rendahya pendidikan pemuda-pemuda seperti Hayat justru malah terbuai
doktrin-doktrin ekstrimis yang sekali lagi mengatasnamakan agama sehingga rela
dijadikan ‘pengantin’ untuk mengeksekusi aksi bom bunuh diri yang justru
dijadikan alat pengalih isu kebobrokan para elite politik.